Yogyakarta — Suasana diskusi publik bertajuk “Bebaskan Tahanan Politik & Transformasi Polri” di Perpustakaan Kolsari, Yogyakarta, Rabu (22/10), mendadak tegang saat Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menyampaikan pandangan tajamnya soal dinamika reformasi kepolisian dan arah kebijakan negara pasca-kerusuhan massa beberapa waktu lalu.
Menurut Zainal, langkah kepolisian dalam menangani aksi massa memang menunjukkan banyak kekurangan dan perlu dibenahi. Namun, ia menilai narasi reformasi Polri yang terus digulirkan belakangan ini justru menimbulkan tanda tanya besar.
“Apakah ini murni upaya memperbaiki Polri, atau justru ada pihak-pihak yang sengaja membentuk situasi agar Polri terlihat lemah di mata publik?” ujarnya dalam forum tersebut.
Zainal mengingatkan bahwa setiap kebijakan Presiden dalam merespons gejolak sosial tentu tak lepas dari masukan berbagai pihak. Karena itu, menurutnya, penting untuk mengkaji siapa saja yang memiliki pengaruh besar terhadap arah keputusan negara dalam isu keamanan nasional.
“Momen ini terasa ganjil. Saat Polri disorot habis-habisan, muncul justru wacana transformasi dan reformasi yang membuat tentara makin sering tampil di panggung publik,” lanjutnya.
Ia menilai kondisi ini bisa berpotensi menimbulkan ketidakseimbangan dalam tatanan keamanan nasional, apalagi jika fungsi-fungsi yang sejatinya bersifat sipil mulai kembali diwarnai oleh pendekatan militeristik.
“Polri adalah alat negara untuk menjaga keamanan. Jika ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi tertentu dalam rezim, maka publik perlu waspada,” tegasnya.
Forum tersebut turut dihadiri oleh sejumlah aktivis dan akademisi yang menyerukan agar proses reformasi kelembagaan dilakukan secara menyeluruh dan transparan, bukan menjadi alat politik untuk melemahkan institusi tertentu.







Komentar