Jakarta – Peringatan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November kembali memunculkan perdebatan publik mengenai layak atau tidaknya Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) H. M. Soeharto, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pro dan kontra terkait wacana tersebut mengemuka di tengah masyarakat, akademisi, serta kalangan aktivis yang menilai rekam jejak Soeharto dari sudut pandang berbeda.
Nama Soeharto memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia selama 32 tahun masa pemerintahannya. Era Orde Baru yang dipimpinnya ditandai dengan stabilitas politik dan berbagai capaian pembangunan, namun juga dibayangi oleh catatan kelam berupa pelanggaran hak asasi manusia serta praktik korupsi. Perbedaan pandangan terhadap dua sisi sejarah itulah yang membuat wacana pemberian gelar pahlawan menjadi polemik berkepanjangan.
Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) menilai perdebatan tersebut perlu dibaca secara lebih jernih oleh generasi muda. PB SEMMI menekankan bahwa penilaian terhadap layak atau tidaknya gelar pahlawan bagi Soeharto harus dilakukan secara obyektif dan berimbang, dengan mempertimbangkan prestasi dan kesalahan yang terjadi selama masa kepemimpinannya.
Menurut PB SEMMI, kesalahan serta pelanggaran HAM pada masa Orde Baru merupakan fakta sejarah yang perlu dijadikan pelajaran bagi bangsa. Banyaknya korban jiwa dari kalangan aktivis, oposisi, dan pihak lain yang dianggap musuh politik meninggalkan luka mendalam yang masih dirasakan keluarga korban hingga kini. Faktor inilah yang menjadi alasan kuat bagi sebagian kelompok yang menolak pemberian gelar tersebut.
Namun di sisi lain, PB SEMMI juga mengingatkan bahwa masa pemerintahan Soeharto menghadirkan sejumlah capaian besar bagi perkembangan Indonesia. Di bidang ekonomi, Indonesia mencatatkan pertumbuhan signifikan dengan meningkatnya pendapatan per kapita, penurunan angka kemiskinan, serta berkembangnya investasi dan infrastruktur. Pada sektor pertanian, Indonesia bahkan pernah mencapai masa swasembada pangan dan menjadi eksportir beras—pencapaian yang kini jarang terdengar lagi.
Dengan mempertimbangkan kedua sisi tersebut, PB SEMMI menyimpulkan bahwa secara obyektif Soeharto dapat dikatakan layak memperoleh gelar Pahlawan Nasional, namun dengan sejumlah catatan penting. Mereka menekankan bahwa pengakuan terhadap prestasi Soeharto tidak boleh menghapus atau membenarkan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Justru, rekam jejak itu harus menjadi pelajaran bagi pemimpin Indonesia saat ini agar tidak mengulangi praktik yang merugikan rakyat dan bangsa.
PB SEMMI berharap generasi muda dapat terus mengawal kebijakan pemerintah dengan kritis, menjadikan sejarah sebagai pijakan untuk membangun Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan berkeadaban.







Komentar