Peneliti: Aksi BEM UI Lebih Dekat ke Agenda Politik daripada Suara Publik

Nasional55 views

Jakarta – Peneliti CIE Muhammad Chaerul, menanggapi aksi unjuk rasa yang digelar elemen Rapat Dengar Pendapat Warga (RDPW) bersama BEM UI di depan Gedung DPR/MPR RI pada Senin (6/10/2025). Menurutnya, aksi yang dikemas sebagai ruang dialog rakyat tersebut justru lebih kental dengan nuansa propaganda politik ketimbang menyampaikan aspirasi murni masyarakat.

Dia menilai, berbagai tuntutan yang dibawa massa aksi terlihat tumpang tindih, mulai dari isu kenaikan pajak, UU Cipta Kerja, Palestina, hingga kriminalisasi aktivis. Bahkan spanduk dan poster yang dipajang cenderung provokatif dan menyerang pemerintah maupun institusi negara tanpa memberikan solusi yang nyata.

Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

“Kalau kita lihat, aksi ini bukan lagi soal ruang aspirasi rakyat, melainkan wadah propaganda yang berusaha membentuk opini publik seakan-akan negara anti demokrasi. Padahal, justru kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tetap dijamin, terbukti mereka bisa melakukan aksi dengan tertib sampai bubar tanpa gangguan,” ujarnya.

Lebih jauh, Chaerul menegaskan bahwa tuduhan adanya “tahanan politik” adalah narasi berlebihan yang tidak sesuai fakta hukum. Mereka yang ditangkap aparat, lanjutnya, bukan karena menyuarakan pendapat, tetapi karena diduga melakukan tindakan melanggar hukum saat aksi sebelumnya.

“Jangan sampai publik dibodohi dengan istilah tahanan politik. Indonesia bukan negara otoriter, kita negara demokrasi. Aparat bertindak karena ada indikasi pelanggaran hukum, bukan karena membungkam kritik,” tegasnya.

Chaerul juga menyoroti keterlibatan beberapa kelompok eksternal di luar mahasiswa, seperti buruh dan aktivis dengan agenda masing-masing. Hal ini, menurutnya, memperlihatkan bahwa aksi tersebut lebih menyerupai konsolidasi politik jalanan dibanding forum akademis yang sehat.

Ia mengingatkan masyarakat agar tidak terprovokasi oleh narasi yang dibangun dalam aksi RDPW tersebut. Ia mengajak publik lebih kritis, tidak serta-merta percaya pada isu yang dibungkus seolah-olah sebagai perjuangan demokrasi, namun sejatinya bermuatan kepentingan politik tertentu.

“Kritik boleh, berbeda pendapat silakan. Tapi jangan memakai simbol demokrasi untuk menekan pemerintah dengan cara yang menyesatkan publik. Kita harus bisa membedakan mana aspirasi murni dan mana propaganda politik,” pungkasnya.

Komentar