Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat
Dalam sejarah Islam, ide anti-pemerintah dan penolakan terhadap otoritas sah bukanlah hal baru. Benihnya muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW, ketika seorang bernama Dzul Khuwaisirah berani memprotes pembagian harta oleh Rasulullah. Ucapannya yang lancang—“Wahai Rasulullah, bertakwalah kepada Allah”—bukan hanya tidak sopan, tetapi juga mengandung tuduhan bahwa Nabi tidak adil.
Nabi pun menegur keras: “Celaka engkau! Bukankah aku adalah penduduk bumi yang paling berhak untuk bertakwa kepada Allah?” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ucapan ini menjadi simbol awal dari sikap yang kelak berkembang menjadi gerakan politik subversif: menolak legitimasi pemimpin, menyebarkan fitnah, dan memecah umat.
Gerakan anti-pemerintah yang terorganisir pertama kali dipelopori oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi dari Yaman yang berpura-pura masuk Islam. Ia menyebarkan hoaks dan opini negatif terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Targetnya adalah masyarakat Muslim di daerah pinggiran seperti Bashrah, Kufah, dan Mesir—komunitas yang baru mengenal Islam, semangatnya tinggi, tapi belum kokoh secara ilmu dan iman.
Pengikutnya kebanyakan adalah orang Badui yang baru hijrah dari kehidupan jahiliyah. Mereka mudah diprovokasi dan dimobilisasi. Abdullah bin Saba’ memanfaatkan celah ini untuk membangun narasi kebencian terhadap Khalifah Utsman, menggambarkan beliau sebagai pemimpin yang zalim dan menyimpang.
Menurut Dr. Utsman bin Muhammad al-Khamis dalam Hiqbah Minat Tarikh, ada 13 tuduhan yang diarahkan kepada Khalifah Utsman. Sebagian besar adalah keputusan ijtihad politik yang sah, bukan pelanggaran syariah. Di antaranya:
– Mengangkat kerabat sebagai pejabat
– Membakar mushaf selain mushaf standar
– Memperluas lahan ternak negara
– Tidak mengqashar salat saat safar
– Tidak menghukum ‘Ubaidullah bin Umar
Semua itu adalah bentuk tanggung jawab Khalifah dalam mengatur urusan umat. Bahkan dua tuduhan yang menyangkut absennya Utsman dalam Perang Badar dan Bai’atur Ridwan justru menunjukkan kemuliaannya. Beliau absen karena menjaga istrinya yang sakit (putri Nabi), dan diutus Nabi ke Mekkah untuk negosiasi. Nabi sendiri bersabda bahwa Utsman mendapat pahala seperti orang yang ikut Perang Badar.
Satu-satunya kesalahan yang diakui Utsman adalah mundur dari medan Perang Uhud. Namun, Allah SWT telah memaafkannya, sebagaimana ditegaskan dalam QS Ali Imran: 155. Kesalahan itu manusiawi, dan tidak menghapus kemuliaan beliau sebagai sahabat utama Nabi Muhammad SAW.
Kelompok Khawarij yang bersekutu dengan Abdullah bin Saba’ terus menyebarkan fitnah. Mereka menuduh Utsman mengusir Abu Dzar al-Ghifari, padahal Abu Dzar pergi ke Rabadzah atas keinginannya sendiri. Bahkan Abu Dzar berkata: “Seandainya pemimpinku dari Habasyah, aku tetap akan taat kepadanya.”
(HR. Bukhari)
Fitnah lain yang disebarkan adalah tuduhan bahwa Utsman memukul Ibnu Mas’ud dan Ammar bin Yasir—tuduhan yang absurd dan bertentangan dengan fakta sejarah. Jika usus Ibnu Mas’ud robek, ia pasti wafat. Jika tulang rusuk Ammar patah, bagaimana mungkin ia bisa ikut perang di kemudian hari?
Massa yang termakan hoaks, terbakar emosi, dan digerakkan oleh tangan-tangan tak terlihat, akhirnya mengepung rumah Khalifah Utsman. Tragedi ini mencapai puncaknya ketika beliau syahid saat sedang membaca Al-Qur’an. Peristiwa ini menjadi noda kelam dalam sejarah umat Islam—sebuah gerakan makar yang lahir dari fitnah dan berakhir dengan pertumpahan darah.
Tragedi Khalifah Utsman bin Affan adalah pelajaran berharga. Ia mengajarkan bahwa hoaks bisa berubah menjadi people power, dan people power bisa berubah menjadi makar. Kita harus belajar dari sejarah. Jangan biarkan emosi dan kebencian mengalahkan akal sehat dan keadilan.
Nahdlatul Ulama (NU) selalu mengambil sikap tengah (i’tidal, tawasuth, tawazun), yang mencerminkan sikap para sahabat Nabi di tengah konflik politik. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa.” (QS Al-Maidah: 8)
Dengan prinsip ini, NU membentengi bangsa dari ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai Islam. NU percaya bahwa stabilitas negara harus dijaga dengan ilmu, adab, dan keadilan.
Semoga bangsa Indonesia tidak mengulangi sejarah kelam ini. Mari jaga negeri dengan semangat ukhuwah, ilmu, dan cinta tanah air. Karena makar yang lahir dari fitnah, hanya akan melahirkan kehancuran.








Komentar