Ijazah Jokowi dan Restorasi Kepercayaan Publik

Polhukam579 views

JAKARTA – Di tengah riuh rendah polemik seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo yang kembali mencuat ke permukaan, suara bijak muncul dari Syam Basrijal, Founder Restorasi Jiwa Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Syam mengajak seluruh elemen bangsa untuk berhenti berkutat pada perdebatan tak berujung dan mulai membangun kembali kepercayaan publik yang rapuh.

Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Meski pengadilan telah menolak gugatan berulang kali dan Universitas Gadjah Mada menegaskan keaslian ijazah dan skripsi Presiden Jokowi, perdebatan di ruang publik belum juga surut.

“Fakta hukum sudah jelas, klarifikasi sudah diberikan, namun perdebatan terus bergulir seperti api yang tak padam,” tulis Syam dalam keterangannya, Kamis (21/8/2025).

Bagi Syam, akar persoalan ini lebih dalam daripada sekadar dokumen akademik. Akan tetapi pada persoalan public trust terhadap absah atau tidaknya sebauh dokumen ijazah tersebut.

“Polemik ini lebih banyak berbicara tentang rapuhnya kepercayaan publik daripada soal ijazah,” ungkapnya.

Ia menilai, masyarakat kerap menempatkan simbol gelar lebih tinggi dari integritas dan karya nyata—sebuah kecenderungan yang berbahaya bagi masa depan bangsa.

Lebih lanjut, Syam menyerukan perlunya langkah restoratif, yakni memulihkan kepercayaan rakyat dengan cara yang jujur dan terbuka. Di mana negara dan institusi pendidikan harus memperkuat sistem transparansi serta menyediakan kanal informasi yang dapat diakses publik.

“Negara dan kampus perlu menyediakan kanal informasi resmi yang mudah diakses, publik harus mulai terbiasa dengan budaya verifikasi,” tuturnya.

Di sisi lain, media juga diharapkan menjalankan perannya secara bertanggung jawab—memilah antara kritik yang membangun dan fitnah yang destruktif.

“Kritik itu sehat, fitnah hanya menyisakan abu dan arang,” tegasnya, mengutip pepatah lama yang menggambarkan betapa debat berkepanjangan justru dapat membakar kedua belah pihak—baik yang merasa menang maupun yang kalah.

Syam pun mengajak masyarakat untuk kembali pada esensi kepemimpinan, bukan seberapa panjang gelar yang dimiliki, melainkan seberapa dalam kontribusi yang diberikan.

“Bangsa ini terlalu besar untuk terus terjebak pada polemik yang menguras energi,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya menilai pemimpin dari keberanian dalam mengambil keputusan, dari integritas yang teruji, dan dari warisan kebijakan yang menyejahterakan rakyat.

Di tengah kegaduhan ini, kata Syam, tugas bersama seluruh elemen bangsa adalah memastikan Indonesia tidak berakhir menjadi abu atau arang, melainkan tetap menyala sebagai api harapan yang menyatukan.

“Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat panjang gelar, tetapi dalamnya kontribusi,” pungkasnya.

Komentar