Jakarta – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini tengah dibahas menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Dalam diskusi publik bertajuk “Konstitusionalisme KUHAP: Relevansi Asas Diferensiasi Fungsional dalam Penegakan Hukum” yang digelar di Sadjoe Cafe and Resto, Tebet, Jumat (15/8), para pembicara menilai bahwa arah revisi KUHAP berpotensi melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Muhammad Hafiz, Direktur Centra Initiative, membuka diskusi dengan menekankan bahwa kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem hukum Indonesia semakin nyata. Menurutnya, KUHAP yang tidak tunduk pada prinsip konstitusionalisme dapat menjadi alat kekuasaan bagi institusi penegak hukum. Ia menyoroti potensi dominasi satu institusi atas seluruh proses hukum yang mengarah pada abuse of power.
“Revisi KUHAP saat ini cenderung mengabaikan prinsip pemisahan kekuasaan serta tidak mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas,” ujarnya. Hafiz mencontohkan kasus Rodrigo, warga Brasil dengan skizofrenia yang tetap dijatuhi hukuman mati, sebagai bentuk nyata dari sistem hukum yang belum sensitif terhadap kerentanan mental.
Lebih lanjut, Hafiz juga mengkritisi lemahnya pengaturan mengenai penyitaan dan penyadapan, termasuk tidak adanya ketentuan khusus mengenai alat bantu bagi penyandang disabilitas yang dapat disita tanpa pertimbangan kemanusiaan.
Atika Yuanita Paraswaty, Ketua SUAKA, turut menekankan pentingnya harmonisasi aturan antar lembaga penegak hukum. Ia menyatakan bahwa revisi KUHAP tidak boleh tunduk pada peraturan internal institusi seperti Polri, Kejaksaan, atau Mahkamah Agung. “KUHAP harus menjadi payung hukum tertinggi dalam proses hukum pidana dan wajib selaras dengan Konstitusi,” tegasnya.
Atika juga mengingatkan pentingnya penerapan Undang-Undang Bantuan Hukum secara konsisten, yang menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan hukum sejak awal proses pidana tanpa diskriminasi. Ia menilai bahwa akses terhadap bantuan hukum yang cepat, efektif, dan berbasis HAM masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam sistem hukum Indonesia.
Senada, Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial, mengkritik prinsip dominus litis yang memberi kejaksaan kendali penuh dalam perkara pidana. Ia menyebut dominasi kejaksaan sebagai bentuk kekuasaan yang rentan disalahgunakan, terlebih tanpa adanya pengawasan yang efektif.
“Kasus tidak dieksekusinya Silfester Matutina menunjukkan adanya masalah serius dalam akuntabilitas Kejaksaan. Bahkan dugaan adanya intervensi politik dalam perkara tersebut harus menjadi alarm bahaya bagi demokrasi kita,” ujar Ardi.
Ia juga menyoroti praktik perlindungan terhadap jaksa oleh TNI sebagai bentuk kolusi kekuasaan yang membahayakan prinsip rule of law. “Ketika penegak hukum dilindungi militer, maka akan tercipta kekebalan hukum de facto yang menggerus kepercayaan publik,” tambahnya.
Sementara itu, Bhatara Ibnu Reza, akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti, menyampaikan bahwa KUHAP tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang keterlibatan militer dalam sistem hukum Indonesia. Ia menilai bahwa pengaruh militer yang dulu dilegitimasi lewat doktrin Dwifungsi ABRI kini hadir dalam bentuk regulasi hukum yang lebih halus.
Menurut Bhatara, revisi terhadap Undang-Undang TNI dan Kejaksaan menunjukkan adanya perluasan peran militer dan kejaksaan dalam ranah sipil. Ia juga mengkritik lemahnya posisi lembaga pengawas independen yang tidak diberi kewenangan cukup untuk menyeimbangkan kekuasaan lembaga penegak hukum.
“KUHAP yang ideal seharusnya memperkuat kontrol demokratis dan menjamin perlindungan hak asasi manusia, bukan justru menjadi alat pelanggeng kekuasaan institusi tertentu,” pungkasnya.








Komentar