Jaga Marwah Ulama, Jaga Banten

Suara Citizen995 views

Oleh Winah Setiawati (Ketua PKC PMII Banten)

Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat Banten diguncang oleh maraknya ujaran kebencian dan ekspresi publik oleh oknum yang secara terang-terangan merendahkan martabat ulama dan institusi keagamaan, khususnya yang berakar pada tradisi Nahdlatul Ulama (NU).

Cloud Startup - Bikin Website Kamu Makin Ngebut

Fenomena ini bukan sekadar dinamika wacana di ruang publik digital, tetapi sudah menjurus pada bentuk kekerasan simbolik yang membahayakan harmoni sosial dan ketenteraman kultural masyarakat Banten.

Sebagai Ketua PKC Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Banten, saya menyampaikan keprihatinan mendalam atas kemerosotan etika dalam menyampaikan kritik, terlebih jika itu diarahkan pada simbol-simbol yang menjadi penyangga moral masyarakat. Ulama, pesantren, dan tradisi keagamaan bukanlah entitas pasif. Mereka adalah pilar peradaban yang telah mengakar dalam denyut sejarah dan jiwa kolektif masyarakat Banten.

Ulama bukan sekadar guru agama. Mereka adalah penjaga nilai, penyejuk konflik, dan pengayom masyarakat lintas golongan. Merendahkan mereka sama saja dengan menampar nurani dan akal sehat umat. Di tanah seperti Banten, yang sejarahnya dibentuk oleh perjuangan para wali dan alim, tindakan semacam itu ibarat menggali lubang kehancuran sosial dengan tangan sendiri.

Lebih dari sekadar soal etika, penghinaan terhadap ulama dan simbol-simbol keagamaan juga memiliki konsekuensi hukum. Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas menyatakan bahwa siapa pun yang menyatakan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu golongan rakyat Indonesia, dapat dikenai sanksi pidana.

Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengatur larangan menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan berbasis SARA. Pelanggar pasal ini terancam pidana hingga 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Sayangnya, ketentuan hukum ini kerap kali tidak cukup memberikan efek jera. Munculnya narasi kebencian yang menyasar ulama dan institusi keagamaan, bahkan dilakukan secara sadar dan terorganisir, menunjukkan bahwa hukum belum sepenuhnya hadir sebagai pelindung kehormatan kelompok keagamaan.

Penghinaan terhadap ulama bukan sekadar pelanggaran hukum positif, tetapi juga pengingkaran terhadap akar budaya dan spiritualitas masyarakat Banten. Provinsi ini bukan hanya wilayah administratif, tetapi tanah keramat yang ditaburi doa para wali, dipelihara oleh akhlak para kiai, dan dirawat oleh kesantunan pesantren. Di sinilah nilai Islam rahmatan lil ‘alamin tumbuh subur, bukan sebagai jargon, tetapi sebagai sistem hidup yang menyejukkan perbedaan.

PMII Banten mengingatkan semua pihak, bahwa penghormatan terhadap ulama bukanlah bentuk pengkultusan, melainkan pengakuan terhadap jasa dan peran mereka dalam membentuk masyarakat beradab. Jika narasi kebencian dibiarkan berkembang tanpa kendali, bukan hanya NU atau pesantren yang menjadi korban, tetapi keutuhan sosial dan spiritual masyarakat Banten secara keseluruhan bisa tercabik.

Banten adalah rumah bersama. Rumah yang dibangun oleh semangat persatuan, nilai keislaman yang moderat, dan cinta kasih antargolongan. Jangan biarkan rumah ini retak oleh ego sektarian, ujaran adu domba, atau kepentingan sesaat. Sekali Banten terpecah, sulit untuk menyatukannya kembali.

Maka, menjaga marwah ulama adalah menjaga martabat kita sebagai bangsa. Menjaga Banten berarti merawat warisan nilai dan akhlak yang ditanam oleh para pendahulu kita. Mari jaga Banten — bukan dengan amarah, tetapi dengan adab, akal sehat, dan cinta terhadap sesama.

Komentar