Jakarta – Pakar forensik digital Joshua M. Sinambela, secara terbuka membantah tudingan Rismon Sianipar dan kawan-kawannya yang menuding Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu.
Dalam pernyataannya, Joshua menegaskan bahwa sejumlah koleganya di UGM telah mengkaji ulang analisis Rismon yang beredar di publik. Hasilnya, mereka menemukan banyak kejanggalan dalam metode analisis tersebut.
“Beberapa rekan dosen di UGM mencoba meluruskan analisis-analisis yang disampaikan oleh Rismon, karena sejak awal sudah terlihat tidak tepat,” ujar Joshua.
Joshua menjelaskan, awalnya Rismon mengklaim bahwa ijazah Presiden Jokowi palsu dengan alasan adanya kejanggalan pada font dan nomor ijazah yang dianggap tidak lengkap. Analisis itu didasarkan pada perbandingan dengan ijazah milik salah satu akademisi UGM, Prof. Bambang Prastowo.
Namun, Joshua menjelaskan bahwa perbedaan tersebut wajar terjadi karena pada era itu – sekitar 40 tahun lalu – setiap fakultas mencetak ijazahnya sendiri, sehingga wajar jika ada perbedaan format, termasuk dalam penulisan nomor dan tata letak ijazah.
Lebih lanjut, Rismon menuding penggunaan font Times New Roman sebagai hal yang mencurigakan. Namun menurut Joshua, justru pada masa itu sudah umum digunakan teknologi cetak dari percetakan konvensional, bukan digital printing atau komputer.
“Font yang disebut-sebut sebagai bukti pemalsuan justru berasal dari hasil cetak percetakan zaman dulu, bukan komputerisasi. Jadi, sangat keliru kalau dibilang itu tidak mungkin ada,” jelasnya.
Joshua menegaskan bahwa analisis seperti ini tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa pemahaman historis dan kontekstual terhadap dokumen yang dimaksud. Ia menyayangkan klaim yang disebarkan tanpa landasan metodologis yang kuat.







Komentar