Jakarta – Sejumlah pakar forensik dan teknologi informasi buka suara mematahkan asumsi Rismon Sianipar terkait ijazah Presiden Joko Widodo yang belakangan kembali menjadi polemik. Mereka menilai analisis Rismon tidak sesuai kaidah ilmiah dan cenderung menyesatkan publik.
Pakar forensik Josua M. Sinambela menegaskan bahwa seorang ahli forensik digital haruslah diakui melalui rekam jejak penelitian maupun keterlibatan dalam kasus hukum yang dipakai sebagai dasar putusan pengadilan.
Pasalnya jika seseorang menganggap dirinya ahli hanya karena pernah menangani dua kasus seperti Jessica Wongso dan Vina Cirebon, itu terlalu prematur untuk membuat generalisasi analisis di kasus berbeda.
Menurut Josua, dalam perkara ijazah Jokowi, lembaga-lembaga resmi di Indonesia telah menyatakan dokumen tersebut asli, sehingga spekulasi liar semacam itu justru melemahkan legitimasi lembaga negara.
“Di kasus Jokowi ini kalau kita melihat bagaimana seorang akademising membuat analisis yang masing-masing padahal ada lembaga lembaga resmi yang sudah menyatakan itu asli,” kata Josua, dalam Forum Group Discussion dikutip.
Sementara itu, peneliti asal Jepang, Ronny Teguh, memaparkan bagaimana metode analisis digital image processing dapat menguji keaslian stempel maupun tanda tangan pada ijazah.
Dengan tools sederhana seperti tune mapping color atau algoritma color separation, jelas terlihat cap merah menyerap pada warna hitam, yang umum pada cetakan dokumen era 80-an. Jadi justru mengonfirmasi orisinalitasnya.
Ronny juga menekankan kesalahan pemahaman Rismon terkait teori warna RGB. Hitam dalam RGB adalah 0-0-0. Begitu dikombinasikan variasi warna merah, muncul gradasi yang secara digital terbaca. Ini membantah tuduhan cap tidak menempel pada hitam.
Ia juga menekankan prosedur pemeriksaan forensik digital yang dilakukan Polri dalam menelaah keaslian ijazah Jokowi dinilai sudah sesuai standar ilmiah.
“Jadi prosedur forensik di polri sudah benar mereka berdasarkan perilaku atau metode ilmiah standarnya adalah sop yang dilakukan langkah-langkahnya mencocokkan membandingkan,” ucapnya.
Ahli IT Muh Nuh Al Azhar turut menyesalkan maraknya narasi fitnah yang memelintir sains digital forensik. Baginya sekarang ini momentum edukasi literasi digital, supaya publik tidak ditipu analisis pseudo-forensik yang menyesatkan.
“Jangan sampai di jejalin narasi-narasi fitnah keji dan jahat sebagai ahli digital forensik padahal itu nggak jelas. Jadi kasihan masyarakat Indonesia,” pungkasnya.








Komentar