Bandung – Guru Besar Kelompok Keahlian Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar kegiatan diskusi bertema “Reaktor Plasma Hidrogen menjadi temuan terbaru dalam pengolahan logam’’. Diskusi ini berlangsung di Laboratorium Pirometalurgi ITB.
Prof. Dr. Ing. Zulfiadi Zulhan, S.T., M.T. IPM menjelaskan bahwa produksi logam mulai banyak dilakukan pada tahun 1700-an setelah seorang insinyur Inggirs Abraham Darby memelopori cara meleburkan besi menggunakan kokas atau batubara panggang. Temuan Darby ini kemudian dianggap sebagai langkah besar mengganti arang kayu dalam industri besi hingga menjadi cikal bakal terjadinya Revolusi Industri. Beratus-ratus tahun kemudian, penggunaan batubara panggang dalam industri besi dan baja serta produksi logam lainnya ternyata telah melepaskan emisi gas rumah kaca secara masif. Penggunaan energi batubara ini juga mencemari lingkungan dan udara serta berkontribusi pada pemanasan global dan perubahan iklim.
Prof. Dr.Ing. Zulfiadi Zulhan, S.T., M.T. IPM. dari Kelompok Keahlian Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (FTTM ITB) menyampaikan orasi ilmiahnya yang berjudul “Reaktor Plasma Hidrogen untuk Produksi Logam yang Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan.
Logam yang ada di muka bumi berasal dari meteor. Logam tersebut kemudian bereaksi dengan air dan oksigen sehingga berkarat dan menjadi bijih. Keberadaan bijih akan dipetakan oleh kegiatan eksplorasi teknik geologi dan teknik geofisika. Selanjutnya, proses penambangan bijih dilakukan oleh teknik pertambangan. Hingga akhirnya sampai di pabrik pengolahan yang menjadi tanggung jawab teknik metalurgi.
Bijih yang sudah masuk ke pabrik pengolahan akan melalui berbagai proses hingga akhirnya menjadi logam. Proses tersebut yaitu kominusi, konsentrasi, ekstraksi, dan pemurnian. Tidak hanya mengolah logam, teknik metalurgi juga berperan dalam mendaur ulang logam yang sudah tidak terpakai menjadi logam baru lagi. Prof. Zulfiadi menyoroti kenaikan temperatur muka bumi yang sudah mencapai angka 1,58?. Salah satu kontributornya adalah industri pengolahan logam menggunakan blast furnace yang menghasilkan emisi CO? cukup banyak. Masalah ini harus segera diatasi sebelum menyebabkan risiko kekeringan, gelombang panas, juga curah hujan yang tidak teratur.
Dalam upaya memproduksi logam yang tidak meninggalkan jejak karbon, Prof. Zulfiadi mengenalkan reaktor plasma hidrogen yang memanfaatkan hidrogen sebagai reduktornya. Sampai saat ini, telah dilakukan berbagai percobaan dalam skala laboratorium untuk memproduksi logam menggunakan reaktor plasma hidrogen. percobaan awal dilakukan dengan menggunakan bijih besi limonit (gutit). Dalam waktu 1 menit, bijih tereduksi sebagian menjadi logam. Lalu, dalam waktu 2 menit, bijih berhasil tereduksi sempurna menjadi logam.
Percobaan terbaru adalah mencoba mencampurkan bijih nikel dan kromit untuk menghasilkan baja tahan karat. Dalam skala pabrik, proses produksi baja tahan karat membutuhkan waktu sangat panjang dan menggunakan berbagai alat. Prof. Zulfiadi mencoba mencampur 30%-35% bijih kromit dengan bijih nikel menggunakan 1 alat dan berhasil menghasilkan baja tahan karat/stainless steel. Harapannya, percobaan ini dapat dikembangkan ke skala pabrik.
Menutup orasinya, Prof. Zulfiadi memproyeksikan cita-cita pengolahan logam di masa depan supaya dapat dibuat suatu mesin yang memanfaatkan artificial intelligence, mesin tersebut dapat menghasilkan berbagai jenis logam sesuai bahan yang dimasukkan oleh penggunanya.
“Reaktor plasma hidrogen menggunakan green hydrogen dan sumber listrik EBT merupakan alternatif produksi logam yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.” tuturnya.
Komentar