COP 29 Dibuka, Pemerintah Indonesia Harus Prioritaskan Target Ambisius 1,5 Derajat dan Keadilan Iklim bagi Rakyat

Nasional1,625 views

Jakarta – Senin (11/11/2024) , KTT Perubahan Iklim (COP 29) resmi dibuka di Baku. Pada pertemuan ini, Pemerintahan Baru Indonesia akan terlibat dalam negosiasi yang menghasilkan beberapa keputusan penting.

Akan tetapi, delegasi Indonesia pada COP 29 tahun ini justru direncanakan untuk membawa agenda yang semakin menjauhkan fokus COP 29 dari keadilan iklim. Pertama, menjawab isu deforestasi akibat proyek lumbung pangan yang telah dan akan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Ironisnya, hal ini digaungkan di tengah beragam kritik tentang dampak dan potensi dampak proyek food estate terhadap lingkungan, masyarakat, dan komitmen iklim Indonesia. Kedua, memperkenalkan perdagangan karbon hingga program Carbon Capture and Storage (CCS).

“Padahal, skema perdagangan karbon khususnya melalui offset dan CCS secara nyata tidak menjawab akar masalah krisis iklim, hanya menguntungkan korporasi penyumbang emisi GRK, dan menghambat upaya penghentian penggunaan energi fosil,” ungkap Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI Eksekutif Nasional.

Merespon hal tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menegaskan bahwa keadilan iklim seharusnya menjadi agenda prioritas delegasi Indonesia, dibanding fokus pada solusi-solusi yang semakin memperparah kondisi ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat. ARUKI menilai, setidaknya ada 5 hal yang harus menjadi fokus delegasi Indonesia di COP 29 ini.

Pertama, pemerintah Indonesia harus berani berkomitmen dan memimpin agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target 1,5 derajat celcius. Pada COP 28 di Dubai, Global Stocktake telah menggarisbawahi komitmen iklim negara-negara global saat ini mengarahkan kenaikan suhu hingga mendekati 3 derajat celcius.

Syaharani, Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat, menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius hanya dapat dilakukan melalui komitmen tegas untuk menghentikan penggunaan energi fosil dan melindungi ekosistem. Lebih lanjut, ia juga menyinggung bahwa global stocktake telah memberikan rekomendasi untuk meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 3x lipat di tahun 2030.

“Karena itu, pemerintah Indonesia dalam negosiasi seperti pada negosiasi program kerja mitigasi dan transisi berkeadilan harus mendorong komitmen bersama untuk melakukan phase out energi fosil, melakukan perlindungan ekosistem, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang memperpanjang energi fosil seperti co-firing PLTU, produksi bioenergi skala besar, dan CCS,” lanjut Syaharani.

ARUKI juga berharap ambisi untuk sejalan dengan 1.5 derajat celcius akan tercermin dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kedua Indonesia yang akan dirilis nantinya.

Kedua, pemerintah Indonesia harus tegas menyatakan komitmen terhadap perlindungan dan pemulihan ekosistem sebagai unsur kunci untuk menunjang adaptasi. Menurut Global Forest Watch, Indonesia masih mengalami deforestasi sebesar lebih 1.3 juta hektar pada tahun 2023. Tekanan industri ekstraktif dan perluasan komoditi ditengarai sebagai pendorong utama deforestasi sebesar 1.1 juta hektar. Sejumlah peristiwa cuaca ekstrem menjadi bencana akibat rusaknya ekosistem hulu yang porak poranda akibat industri pertambangan. Banjir bandang di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, bulan Juli 2024 lalu adalah fakta tak terbantahkan rusaknya ekosistem akibat tekanan industri ekstraktif.

“Untuk membangun ketahanan iklim, tidak ada ekosistem dan ruang hidup warga yang dapat dikorbankan. Perlindungan ekosistem adalah prasyarat mutlak terciptanya ketahanan dan adaptasi dampak perubahan iklim,” tegas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.

Ketiga, Indonesia harus mampu menekan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen target pendanaan iklim mereka, termasuk meningkatkan pendanaan hibah untuk mitigasi, adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan. Secara global, meskipun jumlah pendanaan iklim meningkat, namun mayoritas masih dalam bentuk hutang. Jumlah hutang untuk pendanaan iklim di tahun 2021-2022 mencapai lebih dari 561 miliar USD. Selain itu, porsi yang dialokasikan untuk adaptasi juga sangat minim. Dari total 1.3 triliun USD, pendanaan adaptasi hanya mencapai 63 miliar USD.

“Oleh sebab itu, pada negosiasi New Collective Quantified Goals (NCQG), pemerintah Indonesia harus memastikan komitmen negara maju dan pendanaan iklim juga dialokasikan pada mitigasi serta kehilangan dan kerusakan dan tidak menggunakan skema hutang yang menambah beban dan kerugian bagi masyarakat rentan, terpinggirkan serta generasi mendatang,” tegas Indira Hapsari, Koordinator Program pada Divisi Program Tanggap Bencana dan Ketangguhan Warga, Yappika.

Lebih lanjut, Indira Hapsari juga menyatakan pentingnya memastikan pendanaan iklim di akses bagi negara berkembang dan akses masyarakat terhadap pendanaan iklim, dengan mengutamakan responsif gender dan penegakan HAM, serta melibatkan masyarakat marginal dalam pengambilan keputusan itu nantinya.

Keempat, Pemerintahan Prabowo harus mampu mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya, menuju keadilan yang menjadi syarat utama ketahanan iklim rakyat. Krisis iklim yang disebabkan oleh ketimpangan akses sumber daya telah berdampak terhadap kerusakan dan kehilangan, keselamatan serta kesejahteraan bagi rakyat Indonesia yang menambah beban dan kerentanan masyarakat miskin, termasuk ketidakadilan gender dan ketidakadilan antargenerasi. Pemerintah Indonesia seharusnya menjadikan dirinya contoh bagaimana keadilan iklim itu bisa diwujudkan melalui penghapusan ketidakadilan akses terhadap sumber daya.

Data Bank Dunia menunjukkan hanya 20% kelompok kaya yang menguasai total 46% ekonomi Indonesia dan terus mengalami pertumbuhan pendapatan sementara sisanya malah turun. Kemudian, dari sisi penguasaan tanah, WALHI dan Auriga mencatat, di tahun 2022 saja 53 juta hektare penguasaan/pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukan bagi rakyat. Walhi dan Auriga juga mencatat lahan yang dikelola korporasi di Kalimantan mencapai 24,73 juta ha, sedangkan yang dikelola rakyat hanya 1,07 juta ha. Dengan kondisi ketimpangan seperti ini, tidaklah mungkin rakyat miskin memiliki kemampuan bertahan yang memadai untuk bertahan dari dampak perubahan iklim. Pengenaan pajak orang kaya termasuk mendorong keadilan pajak yang merujuk pada prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), reforma agraria, dan pengakuan atas tanah adat adalah salah satu jalan redistribusi kekayaan.

Kelima, Pemerintah Indonesia harus melindungi kelompok rentan dan memastikan keterlibatan bermakna masyarakat termasuk dengan melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain dalam mitigasi dan adaptasi. Kondisi masyarakat rentan dengan kondisi sosial-ekonomi timpang semakin memudahkan mereka terekspos pada risiko termasuk kriminalisasi, saat memperjuangkan hak mereka atas iklim yang aman. Padahal, partisipasi publik yang aktif, termasuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adalah kunci untuk menghasilkan solusi iklim yang efektif dan adil. Keadilan iklim tidak dapat tercapai tanpa jaminan hak-hak sipil dan politik yang kuat” ujar Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi YLBHI. Pemerintah Indonesia perlu mendorong indikator global adaptasi (global goal on adaptation) yang mencakup pemenuhan keadilan gender, agroekologi, dan hak asasi manusia.

Mengingat ancaman krisis iklim yang semakin parah berdampak pada rakyat, ARUKI menuntut delegasi Indonesia di COP 29 untuk fokus pada agenda keadilan iklim dengan mewujudkan 5 poin di atas, dibanding fokus mendorong komodifikasi iklim.

Sebagai informasi, ARUKI merupakan aliansi 30 (tiga puluh) organisasi masyarakat sipil yang dibentuk pada 20 November 2023, organisasi masyarakat sipil tersebut di antaranya: Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Kemitraan, Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL), Madani Berkelanjutan, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Pusaka, Aksi! For Gender Social Ecological Justice, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Solidaritas Perempuan, TUK Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koaksi Indonesia, 350.org Indonesia, ELS FH Univ. Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Climate Ranger (CR) Jakarta, XR Indonesia, Koprol Iklim, DPP Kasbi, PSHK, Trend Asia, Walhi Jakarta, Celios, Perkumpulan Huma.

ARUKI dibentuk untuk mendorong terwujudnya UU Keadilan Iklim, yang diyakini sebagai instrumen hukum tertinggi yang dapat mendorong kolaborasi dan harmonisasi dalam mengatasi krisis iklim. Visi ARUKI adalah mendorong perubahan sistem negara agar terwujud keadilan iklim di Indonesia yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan. Misinya adalah: (1) Membangun kekuatan rakyat dalam mendorong keadilan iklim (2) Mendorong perubahan sistem demokrasi negara dalam perwujudan keadilan iklim (3) Meluaskan gerakan keadilan iklim di tingkat daerah, nasional, regional, dan global

ARUKI merupakan bukti komitmen berbagai organisasi masyarakat sipil untuk memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia, dan diharapkan dapat menjadi penggerak utama dalam mewujudkan perubahan sistemik yang berkelanjutan

Menurut Global Forest Watch, Indonesia masih mengalami deforestasi sebesar lebih 1.3 juta hektar pada tahun 2023. Tekanan industri ekstraktif dan perluasan komoditi ditengarai sebagai pendorong utama deforestasi sebesar 1.1 juta hektar.

Sedangkan Menurut Laporan Standing Committee on Finance UNFCCC setidaknya dibutuhkan 2.4 hingga 8 triliun dollar per tahun hingga 2030 untuk mengatasi perubahan iklim.

Di Indonesia, Data Bank Dunia menyebutkan bahwa sepanjang sejak tahun 2017-2023 hanya 20 % penduduk berpendapatan tertinggi yang mengalami kenaikan pendapatan. Sisanya terus mengalami penurunan pendapatan.

Komentar