Pemuda, Demokrasi dan Pembangunan

Nasional884 views

Oleh: Abdul Ghopur

Dalam suatu tesisnya, Juan J. Linz dan Alfred Stepan (2001) menyebutkan, belum pernah ada, dan hampir pasti tidak mungkin ada, negara demokratis-modern yang terkonsolidasi dengan rezim ekonomi pasar murni. Sebab, setelah penguatan masyarakat sipil, pelembagaan masyarakat politik, pengutamaan hukum, pengefektifan birokrasi, fase kelima dari konsolidasi demokrasi adalah pelembagaan masyarakat ekonomi. Artinya, ketika ide demokrasi telah diwujudkan, fase berikutnya adalah mensejahterakan rakyat.

Konsep sejahtera sendiri memerlukan pemaknaan yang lebih riil melebihi kebutuhan akan kebebasan politik. Artinya, harus ada keniscayaan bahwa kewajiban utama konsolidasi demokrasi di masa transisi dan disrupsi adalah menciptakan “akselarasi kesejahteraan.” Meskipun, pada masa transisi kita tetap membutuhkan kestabilan politik dan keamanan, tetapi tidak melulu menyerahkan stabilitas politik pada militer. Melainkan suatu upaya bersama yang akan memberikan kenyamanan umum bagi seluruh kegiatan produktif di pelbagai lapisan sosial. Di sini produktivitas dan kegairahan kerja dapat ditingkatkan serta kepastian menikmati hasilnya bisa dicapai.

Pengaruh positifnya, seperti yang kita rasakan, adalah pertumbuhan dan akumulasi hasil kerja yang terjadi hampir serempak, bukan saja di pelbagai golongan masyarakat, melainkan juga antar-daerah. Kendati tentu banyak hal harus ditingkatkan, stabilitas politik dan keamanan itu seakan-akan berfungsi sebagai lapisan udara, dengan apa masyarakat secara bersama (bukan individual) bernafas mempertahankan hidup. Namun, melihat fenomena global negara-negara di berbagai belahan dunia, kini justru terpuruk pada ekonomi yang sangat rendah. Dus, hampir tiga tahun dilanda pandemi covid-19 makin menambah beban dan perlambatan (jika tidak ingin dikatakan kehancuran) ekonomi global. Kemerdekaan berpolitik, usaha penegakan hukum, dan liberalisasi ekonomi yang ditempuh banyak pemerintahan hasil pemilu (yang liberal) “demokratis” di dunia (terutama negara dunia berkembang), belum menghasilkan masyarakat sejahtera. Kegagalan ini dikarenakan mereka masih “berpusing-pusing” menikmati dan memperpanjang transisi serta menyerahkan pemaknaan dan realisasi kesejahteraan ekonomi pada teknokrat, politisi dan saudagar politik yang menjauhi rakyat. Para tekhnokrat ini menjalankan negara dengan landasan ideologi neoliberal yang terlalu mengandalkan utang luar negeri, menggantungkan diri pada lembaga ekonomi asing dan beriman pada ekonomi pasar.

Padahal, landscape dan proyeksi pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini sangat penting. Tujuannya adalah antara lain: pertama, mengetahui gambaran umum arah pembangunan nasional (Indonesia outlook 2024-2029 at least) dalam pelbagai bidang. Kedua, evaluasi dan proyeksi kebijakan pembangunan nasional pada skala lini. Ketiga, menilik konsep percepatan kesejahteraan dalam pembangunan nasional (mengejar pertumbuhunan atau pemerataan) dan kepastian menikmati bersama kue pembangunan. Keempat, memastikan terjaminnya sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) banyak berjalan secara adil, demokratis dan humanis oleh pemerintah. Kelima, melihat sejauh mana fase dan akselarasi pembangunan nasional dalam berbagai aspek termasuk ideologi. Keenam, meninjau ulang apakah pelaksanaan pembangunan nasional mengedepankan nilai-nilai humanisme kebudayaan Indonesia (kultur dan natur-nya bangsa), serta tetap demokratis dan sesuai dengan amanat dan cita-cita Proklamasi 1945, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pembukaannya (Preambule).

Namun jika pemerintah serta aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka yang terjadi adalah individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribusnya masing-masing sebagai upaya menemukan rasa aman dan sejahtera. Yang mengkhawatirkan adalah, di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif. Inilah persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan.

Pancasila menjawab tantangan zaman?
Dalam cita-cita negara Pancasila sesungguhnya kesetaraan, kebersamaan serta persatuan dalam membangun bangsa adalah sebuah tujuan bersama untuk kesejahteraan bersama. Karena dalam gagasan dan nilai-nilai serta pasal-pasal dalam Pancasila merangkum semua tujuan kita berbangsa dan bernegara. Namun sayangnya pasca runtuhnya Orde Baru (ORBA) malah muncul fobia terhadap ideologi Pancasila. Dasar negara itu seolah ikut tumbang dan sirna tanpa bekas. Membincangkan Pancasila menjadi sesuatu yang menjemukan dan “memuakkan,” karena hampir selalu identik dengan rezim ORBA. Agaknya ada semacam trauma mendasar terhadap perlakuan eksesif akan Pancasila. Mengapa demikian? Sebab, Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Pancasila dijadikan ideologi yang komprehensif yang mengatur pelbagai lini kehidupan masyarakat. Negara (ORBA) menjadi maha tahu apa yang baik dan apa yang buruk buat masyarakat. Nilai-nilai itu selalu disematkan di benak masyarakat melalui indoktrinasi, yaitu melalui penerapan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Yaitu ”pemasyarakatan Pancasila” demi menjaga dan menjalankan Pancasila secara murni dan konskuen. Semua warga negara diajar untuk memahami, mengahayati, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang salah sama-sekali dengan itu (nothing wrong at all) sebenarnya. Yang salah adalah, di sisi lain, prilaku penguasa ORBA pada waktu itu menunjukkan arah yang tidak seirama. Bahkan sebaliknya bertentangan dengan nilai dan semangat yang terkandung di dalam Pancasila melalui P4-nya itu. Sampai era reformasi pun kita masih merasakan hal yang sama. Pemerintahan hasil reformasi 1998 kerap tidak seirama antara-perkataan dan perbuatan. Lain di mulut,lain di hati.

Atas perlakuan semacam itu, Pancasila mau tidak mau senantiasa berbenturan dengan nilai-nilai/norma maupun ideologi yang hidup di tengah masyarakat seperti adat-istiadat, aliran kepercayaan, dan agama. Tak ayal pula dengan paham-paham ideologi dunia seperti sosialisme, komunisme, liberalisme dan kapitalisme. Parahnya, benturan tersebut tidak hanya terjadi di levelan ide, bahkan melebar menjadi gesekan sosial politik yang tak jarang berujung pada pertumpahan darah. Trauma itu sampai sekarang belum lenyap. Ketika reformasi bergulir, diskursus ideologi merosot cukup dalam. Masalah itu seolah tidak relevan untuk dibicarakan. Masalahnya boleh jadi karena kita ”capek” dengan ideologisasi Pancasila semasa ORBA yang praktis dimonopoli negara. Pancasila hanya menjadi hafalan rutin setiap Senin pagi di sekolah-sekolah, kantor-kantor pegawai negeri, dan lain lain. Pancasila menjadi hanya sebatas bukan komunisme dan kapitalisme atau diingatkan akan bahaya ekstrim kanan, ekstrim kiri, dan sebagainya. Faktor lainnya adalah bubarnya Uni Soviet, negara yang dianggap sebagai biang dari ideologi komunisme.

Peran kesejarahan pemuda dan persoalan kebangsaan
Pertanyaannya, sudah sejauh mana cita-cita proklamasi ‘45 yang didorongkan keinginan luhur para pendirinya itu tercapai? Apa ukurannya dan apa makna “merdeka” bagi rakyat Indonesia? Ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, karena tiap orang memiliki perspektif dan cita-cita yang berbeda sesuai dengan posisinya masing-masing. Pertanyaan selanjutnya, di mana posisi dan peran strategis orang-orang muda bangsa? Perlu kita garis-bawahi, persoalan kebangsaan itu sebenarnya bukan cuma persoalannya para kaum intelektual, politisi, birokrat, atau tekhnokrat saja, tapi ini persoalan kita bersama. Karena kita hidup di sebuah negara-bangsa kepulauan, kita hidup bersama di Indonesia, jadi ini persoalan kita bersama. Sebagai apa pun posisi kita di bangsa ini, terutama sebagai pemuda kita tidak boleh abai (ignore) pada permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Sebab, pemuda sesungguhnya bukan sekadar bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat saja. Sebab mereka memainkan peranan penting dalam perubahan sosial. Tapi jauh daripada itu, pemuda merupakan konsepsi yang menerobos definisi pelapisan sosial tersebut, terutama terkait konsepsi nilai-nilai. Sejarawan Taufik Abdullah (1995) memandang pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang sering mewujud pada nilai-nilai herois-nasionalisme. Hal ini disebabkan keduanya bukanlah semata-mata istilah ilmiah, tetapi lebih merupakan pengertian ideologis dan kultural. “Pemuda harapan bangsa,” “pemuda pemilik masa depan bangsa,” dan sebagainya, betapa mensaratkan nilai yang melekat pada kata “pemuda” (Abdul Ghopur, Opini Media Indonesia, 28-10-2009).

Pernyataan menarik di atas, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa, menemukan jejaknya. Sebab, berbicara sosok pemuda memang identik dengan nilai-nilai dan peran kesejarahan yang selalu melekat padanya. Sosok pemuda selalu terkait dengan peran sosial-politik dan kebangsaan (kini malah berperan-serta dalam ekonomi). Ini dapat dipahami mengingat hakikat perubahan sosial-politik yang selalu tercitrakan pada sosok pemuda. Citra pemuda Indonesia tidak lepas dari catatan-catatan sejarah yang telah diukirnya sendiri. Taufik Abdullah pernah menyatakan, betapa peristiwa-peristiwa besar di negeri ini dilalui dan digerakkan oleh pemuda. Sejarah telah membuktikan pula bahwa pemuda merupakan penggerak utama “denyut nadi revolusi” suatu bangsa di mana pun, tak terkecuali Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908 (konon, sebagai gerakan kebangkitan nasional pertama), merupakan rekayasa sosial-politik para pemuda Indonesia dalam menggerakkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia melawan penjajah kolonial. Tonggak penting itu memunculkan kesadaran moral kebangsaan dua puluh tahun kemudian, dengan melahirkan peristiwa monumental bagi persatuan dan kesatuan sebuah bangsa besar. Pada 28 Oktober 1928 sekelompok pemuda dari berbagai suku dan daerah berikrar dan menegaskan kesatuan niat, kebulatan tekad dan semangat satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Inti dari sumpah itu adalah membangun rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ikrar suci dan semangat nasionalisme itu kemudian mengkristal dan menjemal menjadi gerakkan politik kemerdekaan tujuh belas tahun kemudian, yang menemukan momentumnya saat diproklamirkannya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarano dan Hatta (yang tak lain adalah orang-orang muda).

Tidak mengherankan jika kemerdekaan Indonesia tak lepas dari gerakan “revolusi kaum muda.” Sebagaimana dinyatakan oleh Taufik Abdullah di atas, prestasi dan citra kaum muda Indonesia begitu menyejarah sepanjang berdirinya Republik Indonesia. Pergantian rezim ke rezim di Indonesia juga melibatkan pemuda. Sedemikian melekatnya nilai-nilai kepeloporan dan semangat kebangsaannya, tentu saja ini menjadi beban sekaligus tanggungjawab moral sosial pemuda Indonesia ke depan. Sering didapati dalam banyak artikel (tulisan) dan kita sendiri bahkan menyaksikan peran partisipasi pemuda yang sangat besar dalam membangun, menyumbang, dan mendukung perkembangan bangsa. Dengan demikian sesungguhnya, diskursus kepemudaan tidak semata terkait persoalan politik. Namun, memiliki spektrum yang lebih luas, mencakup seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemuda kehilangan ingtegritas atau revolusi mati suri?
Namun melihat realitas pemuda Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Gagasan nasionalisme dan visi reformasi yang diusung kaum muda dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan. Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam. Pesonanya memudar, kharismanya melarut dan daya revolusinya mati muda atau mati suri. Nasionalisme pemuda kian hari kian sirna bahkan terkoyak.

Pertanyaannya, semua itu karena minimnya kompetensi atau kurangnya dukungan konstituensi? Sebab, kedua hal tersebut sangat bermakna bagi suatu integritas kepemimpinan politik dalam sekala luas yang memadai. Pengertiannya adalah kesediaan dan kesanggupan seseorang (politisi)/pemuda untuk memainkan peran politiknya, dengan berpegang teguh pada beragam prinsip politik tertentu yang telah disepakati umum, yang jika dilanggar akan menyebabkan seseorang akan kehilangan alasan perihal mengapa politik harus dijalankan. Konsensus atau kesepakatan mengenai aturan main dalam politik itu dinamakan moralitas politik, sedangkan kesediaan untuk berpegang teguh pada moralitas politik tersebut dinamakan integritas politik.

Tanpa kedua hal tersebut, maka politik akan hanya menggiring kita kepada dua kemungkinan yakni, pertama, adalah kecenderungan untuk memanfaatkan setiap oportuniti untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan dengan segala cara (etis atau pun tidak etis/halal atau tidak halal). Oportunisme politik seperti ini menyebabkan seseorang bisa bertahan lama dalam dunia politik, tapi sayangnya tidak akan meninggalkan jejak rekam (legacy) yang baik dalam sejarah politik di masa depan (sebab tidak ada suatu tujuan mulia yang dipertaruhkan dengan jelas), yang membuat perebutan kekuasaan memiliki alasan untuk dibenarkan. Apalagi dengan hadirnya paham-paham yang sesungguhnya anti dengan yang dirumuskan oleh para Founding Fathers kita. Paham-paham yang sangat bertentangan dengan ideologi bangsa kita atau falsafah kita berbangsa-bernegara yaitu Pancasila. Jika kita tidak segera memiliki proyeksi (blue print) pembangunan politik dan politik pembangunan nasional yang jelas dan membumi serta sesuai amanat dan cita-cita proklamasi 1945, pada gilirannya, negara hanya akan menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara-bangsa pasca kolonial ini hanya menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya!

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Prof. Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ignas Kleden. 2000. Demokrasi Dan Distorsinya: Politik Reformasi Di Indonesia. Jakarta. Forum Demokrasi.

Komentar