BERKEADILAN.COM – Pabrik Amoniak Banggai adalah proyek pabrik amonia yang dikelola oleh PT Panca Amara Utama, anak perusahaan PT Surya Esa Perkasa. Peletakan batu pertama proyek ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2015.
Dalam pembangunan Pabrik Amoniak Banggai, PT Panca Amara Utama bekerja sama dengan PT Rekayasa Industri, salah satu BUMN konstruksi terkemuka, sebagai kontraktor utama.
Proyek ini memiliki nilai investasi sebesar USD 507 juta dan direncanakan selesai dalam waktu 28 bulan.
Namun, di kemudian hari terjadi pemecahan bisnis di antara pihak-pihak terkait.
Iskandar Sitorus, sekretaris pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) berharap terhadap dugaan adanya perilaku buruk atau yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang atau korporasi terafiliasi kekuasaan pada upaya-upaya pencarian bank garansi proyek Ammonia Banggai tahun anggaran 2019, sebaiknya sesegera saja diselidiki sampai disidik oleh aparat penegak hukum.
KPK, Kejagung dan Polri tentu menjadi harapan untuk mencegah sampai menangani agar terjadi efek jera terhadap pelaku pelanggar hukum yang sedang dikaji ini.
“Kami yakin, dimasa transisi pemerintahan adalah sesuatu momen untuk melakukan konsolidasi penegakan hukum dengan seharusnya,”ucapnya.
Ada 4 permasalahan utama dalam tahap awal yang berhasil diidentifikasi dalam kasus pertama-tama ini, yaitu :
1. PT Rekayasa Industri menuduh PT Panca Amara Utama telah mengambil performance bond PT Rekayasa Industri dari Bank Mandiri secara sepihak dengan nilai mencapai USD 56 Juta atau sekitar Rp 812 Miliar. PT Rekayasa Industri lalu membuat laporan ke Mabes Polri atas dugaan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh PT Panca Amara Utama.
Sebagai informasi, performance bond (jaminan performa) adalah jaminan yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi untuk menjamin terselesaikannya suatu proyek oleh kontraktor.
PT Panca Amara Utama mengatakan penarikan performance bond hingga tidak dibayarnya hak PT Rekayasa Industri, disebabkan karena PT Rekayasa Industri wanprestasi lantaran penyelesaian proyek pembangunan Banggai Ammonia Plant melebihi batas waktu yang sudah disepakati. PT Panca Amara Utama kemudian menggugat PT Rekayasa Industri ke Pengadilan Arbitrase Internasional (SIAC) di Singapura pada 17 Mei 2019.
2. PT Panca Amara Utama juga menahan uang retensi sebesar USD 50,78 Juta atau setara Rp 711 Milliar. Untuk diketahui, Uang Retensi, umumnya 5 persen dari nilai proyek, adalah uang kontraktor yang ditahan pengguna jasa kontraktor untuk memastikan konstruksi benar-benar bisa digunakan.
3. PT Rekayasa Industri merasa dirugikan karena hak pembayarannya tidak dicairkan oleh PT Panca Amara Utama. Di antaranya pembayaran piutang sekitar USD 11 Juta atau setara Rp 154 Milliar dan persetujuan change order (C/O) senilai USD 25 Juta atau setara Rp 350 Milliar. Jika ditotal, potensi hilangnya uang PT Rekayasa Industri mencapai Rp 2 Trilliun.
PT Rekayasa Industri telah melaporkan Presiden Direktur PT Panca Amara Utama, Vinod Laroya dan Wakil Presiden Direktur PT Panca Amara Utama, Kanishk Laroya, ke Polda Metro Jaya awal Mei 2019. Satu bulan kemudian, PT Rekayasa Industri juga menyampaikan surat permohonan penanganan kasus BAP ke Bareskrim Polri.
4. PT Rekayasa Industri meminta dana talangan dari PT Pupuk Indonesia sebagai Holding-nya (BUMN) melalui Bridging Loan senilai Rp 812 Milliar. Bridging Loan adalah pinjaman jangka pendek yang digunakan sampai seseorang atau perusahaan mendapatkan pembiayaan permanen atau menghapus kewajiban yang ada. Pinjaman jenis ini bersifat jangka pendek hingga satu tahun, memiliki suku bunga yang relatif tinggi dan biasanya didukung oleh beberapa bentuk jaminan, seperti real estate atau inventaris.
Dana talangan Rp 812 Milliar yang diberikan PT Pupuk Indonesia kepada PT Rekayasa Industri menyebabkan Holding berpotensi collapse. Sebagai jalan keluarnya, PT Pupuk Indonesia lantas berupaya meminjam dari Bank Mandiri. Akan tetapi rencana tersebut kemudian batal karena Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia keberatan akan hal ini.
Komentar