Kebudayaan Bangsa Indonesia
Setiap bangsa memiliki kebudayaan yang khas, tak terkecuali bangsa Indonesia. Namun Indonesia merupakan kasus istimewa karena negeri ini terdiri dari pelbagai suku bangsa yang berbeda yang mengikatkan diri secara sukarela ke dalam satu komunitas kebangsaan yang disebut “Indonesia” atas dasar “kehendak untuk hidup bersama”. Kebudayaan Nasional Indonesia merefleksikan persatuan dan kesatuan dalam keragaman, sebuah persatuan yang senantiasa mencari titik temu dengan tetap menghargai perbedaan.
Kebudayaan Nasional Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi antar-kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia. Untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia, diperlukan langkah strategis berupa upaya pemajuan kebudayaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pemajuan kebudayaan merupakan upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, karena Kebudayaan adalah keunggulan komparatif bangsa Indonesia yang dapat diupayakan menjadi keunggulan kompetitif dalam kancah pergaulan antar bangsa di dunia.
Dunia Pendidikan Indonesia
Pendidikan memainkan peran penting dalam upaya pemajuan kebudayaan karena pendidikan itu sendiri merupakan proses pembudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mohammad Hatta, “Apa yang diajarkan dalam pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan adalah proses pembudayaan.” Senada dengan Hatta, bapak pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara menyatakan, “Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas keadaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.” Menurut Ki Hadjar Dewantara, visi pendidikan dan kebudayaan harus mampu melakukan usaha-usaha sintesis kreatif dengan mengambil faedah dari Barat yang senafas dengan kearifan Timur. Lewat proses peminjaman budaya secara selektif itu, tradisi lama bisa diolah supaya sesuai dengan masa depan, sehingga kebudayaan Indonesia memiliki daya hidup yang kuat. Dengan kata lain, pengembangan pendidikan berbasis kebudayaan harus bertolak dari sistesis yang sehat dan produktif antara tradisi dan inovasi serta kearifan lokal dan visi global berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pemikiran para pendiri bangsa itu penting untuk direfleksikan kembali dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer yang ditandai oleh kecenderungan pelemahan kompetensi budaya, pendangkalan pemahaman keagamaan, penurunan kualitas karakter dan budi pekerti, dan kemerosotan nilai-nilai kebangsaan dan kewargaan akibat intensifikasi dan ekstensifikasi proses globalisasi, persebaran ideologi transnasional dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di era digital. Fenomena tersebut antara lain tercermin dalam tumbuhnya sikap intoleran, radikal, eksklusif, diskriminatif dan segregatif di kalangan pelajar, mahasiswa, pemuda, aparatur negara dan masyarakat umum. Pada saat yang sama, nilai-nilai tradisional masyarakat Nusantara seperti keterbukaan, kekeluargaan, gotong royong, silih asah (saling bertukar pikiran), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling menjaga dan melindungi) kian melemah di berbagai daerah, digantikan dengan sikap saling menghujat, saling mencurigai, dan saling membenci antara satu sama lain baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Dalam konteks ini, perguruan tinggi memainkan peran strategis dalam upaya membentuk dan menciptakan kembali manusia Indonesia yang berbudaya dan beradab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Perguruan tinggi tidak hanya dimaksudkan untuk mengembangkan kecerdasan kognitif-akademik, tetapi juga untuk memupuk kecerdasan afektif dan psikomotorik serta memperkuat karakter peserta didik agar menjadi pribadi yang baik, warga negara yang baik dan warga dunia yang baik. Pendekatan holistik ini tercermin dalam konsepsi integral Ki Hadjar Dewantara tentang “olah pikir, olah hati, olah karsa, dan olah raga”, yang merepresentasikan dimensi cipta, rasa, karsa dan karya (kebudayaan) manusia.
Perguruan tinggi juga idealnya tidak hanya memupuk kecerdasan intelektual (intelligence quotient), melainkan juga kecerdasan emosional (emotional quotient), kecerdasan spiritual (spiritual quotient) dan kecerdasan kewarganegaraan (civic quotient). Dalam matra yang terakhir ini, perguruan tinggi harus membekali mahasiswa dengan kecerdasan sipil (civic quotient) dan kompetensi kewarganegaraan (civic competence) yang diperlukan untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang baik (good citizenship). Kita tidak dapat membangun etos kebangsaan (national ethos) dan budaya kewarganegaraan (civic culture) kecuali perguruan tinggi memainkan peranannya dalam memupuk nilai-nilai kebangsaan dan kewarganegaraan. Kita tidak dapat membangun etos kebangsaan dan budaya kewarganegaraan kecuali perguruan tinggi mendidik para ilmuan, cendekiawan dan aktivis yang mampu menerapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan kewarganegaraan mereka ke ruang publik, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis dan membantu menemukan jawabannya.
Atas dasar pemikiran di atas, Universitas Indonesia (UI), Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), berkolaborasi menyelenggarakan Sarasehan Kebudayaan 2024 dengan tema “Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Penguatan Nilai-nilai Kebangsaan Berbasis Kebudayaan” yang diselenggarakan pada 5 – 6 Maret 2024 di Auditorium KGPH Haryo Mataram UNS, Surakarta.
Tujuan Sarasehan Kebudayaan ini adalah untuk: (1) Mengkonseptualisasikan kebudayaan Indonesia dalam konteks kekinian; (2) Merekonseptualisasikan nilai-nilai kebangsaan di era global; (3) Mengarusutamakan pendekatan kebudayaan untuk penguatan nilai-nilai kebangsaan di perguruan tinggi; dan (4) Merumuskan format, cara, bahasa dan media penyampaian pesan-pesan kebangsaan yang efektif dan terhubung dengan karakter Gen Y dan Z.
Penyelenggaraan Sarasehan Kebudayaan ini didukung oleh gerakan kebangsaan Akar Indonesia bersama dengan Ikatan Alumni Perhimpunan Pelajar Indonesia (IA PPI) dan Mata Garuda (Ikatan Alumni Penerima Beasiswa LPDP), sebagai wujud kesadaran dan kepedulian tentang pentingnya peta jalan strategi kebudayaan untuk penguatan nilai-nilai kebangsaan khususnya pada generasi muda menuju Indonesia Emas 2045.
Kolaborasi UI, UNS, Unusia, Kemendikbudristek, MRPTNI, LPDP, 5 – 6 Maret 2024
Komentar