Dalam pidatonya di depan partai Golkar, Jokowi mengatakan bahwa hari-hari ini politik kita dipenuhi drama korea. Bukan politik adu gagasan. Tidak bicara tentang ide besar, memajukan peradaban Indonesia
Kita bisa mempertahankan kata-kata Jokowi itu, lahir sebagai Presiden Republik Indonesia atau sebagai pengamat politik atau politisi. Karena sekarang ini tahun pemilu, jarang orang bicara tentang gagasan besar, ide-ide yang menimbulkan motivasi untuk berkarya. Hari-hari ini orang bicara politik sama dengan bicara tentang : siapa mendukung siapa, siapa mendapatkan apa.
Masyarakat disuguhi akrobatik elite politik yang tidak berkaitan dengan kesusahan rakyat dalam mencari uang untuk sekedar mempertahankan hidup. Pemerintah, lembaga legislatif dan partai politik hanya memikirkan dirinya sendiri.
Pemimpin terpisah dari pikiran dan harapan rakyat. Rakyat tidak diberi harapan dan jaminan, seandainya pilpres berakhir dan pemerintah Jokowi diganti. Apakah keadaan sosial ekonomi kita akan otomatis lebih baik setelah pilpres berakhir. Apa ada jaminan dengan pergantian pemerintahan hidup rakyat akan semakin terjamin. Apakah ada yang pasti kalau yang didukung itu menang dan banyak pertanyaan yang menggelisahkan berhubungan dengan nasib rakyat.
Hari-hari ini politisi berada dalam titik nadir. Pernyataannya kadang tidak sesuai dengan hal yang nyata. Terdengar pernyataannya menyembunyikan kebohongan. Bicara politik hanya bicara dukung mendukung capres-cawapres.
Siapa hari ini yang bicara tentang gagasan? Boro-boro adu gagasan, gagasannya saja tidak mengedepan. Yang ada hanya meneruskan program Jokowi dan semangat meneruskannya. Usulan dari kubu AMIN yang mengusung perubahan juga tidak terlihat jelas. Apa yang mau dirubah? Sistem politiknya yang mau dirubah atau manusianya yang menjalankan sistem itu yang mau diganti.
Tidak ada tesa baru yang diucapkan dengan jelas dan tegas dari kubu pengusung perubahan. Seperti politik asal bunyi yang keluar dari para politisi.
Politisi sekarang tidak terlihat spirit altruismenya. Politisi hari ini terlihat banal, jauh dari idealisme pengabdian.
Siapa pengritik para politisi? Mereka datang dari teoritisi politik, dosen atau pakar-pakar politik atau populer disebut pengamat politik.
Mereka juga bisa datang dari aktivis sejati, yang hidup di luar sistem kekuasaan. Bukan gerombolan aktivis yang jatuh menjadi relawan yang sekarang kecewa berat dengan sikap dan tindakan Jokowi akhir-akhir ini.
Para pengritik politisi yang datang dari aktivis, memberikan kritikkan keras, dengan tindakkan Jokowi yang mengajak anak-anak dan mantunya berdiri di tengah panggung politik. Tidak hanya anaknya, iparnya pun dilibatkan dan terseret dalam politik praktis.
Anwar Usman tidak lepas dari kritik dan hujatan dengan keputusannya meloloskan keponakkannya maju sebagai cawapres. Posisi agung sebagai ketua Mahkamah Konstitusi, terpaksa lepas karena melanggar etika.
Politisi dari partai politik, politisi yang berada di parlemen dan aktivis politik yang mendukung salah satu pasangan, sekarang sedang enggan bicara tentang gagasan besar. Minghindar dari perdebatan adu gagasan. Mereka sedang fokus memenangkan jagoannya yang tidak lama lagi menghadapi masa pencoblosan.
Kalangan akademisi tidak terlihat menyodorkan gagasan besar untuk diberikan pada salah satu atau diberikan pada ketiga calon presiden.
Anggota partai politik, mereka yang di parlemen sibuk dengan kepentingan diri-sendiri agar partainya tambah kursinya. Politik hari ini adalah politik menuju tangga kekuasaan. Bukan politik panggilan jiwa.
Penulis : Isti Nugroho
Komentar