Jakarta – Wakil Koordinator KontraS, Andy M. Rezaldy menilai revisi UU TNI akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Salah satunya adalah terkait dengan reformasi peradilan militer.
Dia menyebut dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah lama diadvokasi oleh KontraS, penyelesaiannya mengalami kendala karena melibatkan institusi atau anggota militer sebagai pelaku.
Wacana perubahan UU TNI ini menurutnya akan mendorong perubahan pasal terkait peradilan militer, di mana peradilan militer akan mengadili semua jenis kejahatan yang dilakukan oleh militer.
“Ini tentu akan semakin mempersulit proses pencarian keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat di kemudian hari,” ucap Andy melalui siaran pers, Selasa (4/7).
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk “Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia” yang digelar koalisi masyarakat sipil kerja sama FISIP UIN Jakarta.
Menurut Andy, perubahan itu jelas sebuah bentuk kemunduran karena dalam UU TNI yang berlaku saat ini, jika militer melakukan kejahatan pidana umum seharusnya diproses melalui peradilan umum.
Sebaliknya, bila prajurit melakukan kejahatan militer maka diproses melalui peradilan militer. Meski UU TNI terkait peradilan militer ini belum pernah dilaksanakan karena UU No. 31 Tahun 1997 tak kunjung direvisi.
“Peradilan militer ini menjadi ruang impunitas atas kejahatan yang dilakukan oleh oknum anggota militer. Impunitas dalam arti peniadaan hukuman atau hanya diberi penghukuman yang ringan,” tuturnya.
Pada forum itu, peneliti senior Centra Initiative Swandaru menyampaikan bahwa reformasi sektor keamanan belum selesai hingga saat ini.
Dia menyebut ada beberapa agenda reformasi TNI yang belum dilaksanakan meski telah diamanatkan dalam berbagai aturan hukum; yaitu reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial, pengaturan penempatan prajurit militer aktif di jabatan sipil.
“Di tengah kondisi itu, muncul wacana dan draft revisi UU TNI yang dapat menghambat proses reformasi sektor keamanan dan bahkan berpotensi mengembalikan dwifungsi militer,” ucapnya.
Swandaru menilai hal itu bisa terjadi karena terdapat sejumlah pasal bermasalah di dalamnya. Di antaranya soal kewenangan peradilan militer untuk mengadili semua jenis kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer aktif.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip persamaan dimuka hukum atau equality before the law,” tegasnya.
Komentar