Oleh : Darmansjah Djumala
Baru berselang belasan hari dari merujukkan Arab Saudi dan Iran, China kembali membetot perhatian dunia. Presiden China Xi Jinping berkunjung ke Moskow, 20-22 Maret 2023, mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan Presiden Rusia Putin. Dalam kunjungan atas undangan Putin itu, kedua pemimpin berhasil mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam dua dukumen; yaitu Pernyataan Bersama tentang Kemitraan Strategis dan Pernyataan Bersama tentang Pebangunan dan Kerjasama Ekonomi. Dalam pakem diplomatik, dokumen pertama memuat hal-hal yang bersifat konseptual-normatif terkait sikap dan pandangan kedua negara terhadap berbagai isu internasional. Sedangkan dokumen kedua biasanya berisi kesepakatan yang bersifat operasional-aplikatif tentang program kerjasama pembangunan di berbai bidang. Sekilas sepertinya kunjungan Jinping itu hal lumrah dalam hubungan bilateral dua negara. Namun bila kunjungan itu dilakukan tatkala Eropa sedang menghadapi perang Ukraina-Rusia, hal itu membuka ruang tafsir yang luas.
Hubungan China-Rusia tak pernah sehangat sekarang. Dulu ketika dunia masih dihantui hegemoni dua super power dunia, AS dan Uni Soviet, hubungan China-Rusia jatuh pada titik terendah, antara lain disebabkan rivalitas dalam panutan komunisme dunia. Setelah Uni Soviet bubar, Rusia memulai kembali hubungan erat dengan China terutama di bidang ekonomi dan perdagangan. Setelah usai Perang Dingin, Rusia seperti kehilangan percaya diri. Betapa tidak, setelah Uni Soviet bubar, Rusia seolah tak berdaya menghadapi rongrongan ideologis negara Barat (dalam hal Uni Eropa). Satu demi satu negara Eropa Timur – yang dulu berada di bawah bayang-bayang ideologi komunis Uni Soviet – jatuh ke bawah ketiak ideologi Uni Eropa. Banyak negara Eropa Timur yang dulu sosialis-komunis berganti haluan menjadi liberal-kapitalis. Bahkan ikut pakta pertahanan NATO. Hegemoni ideologis dan kooptasi militer-pertahanan Barat ini terus merangsek ke arah Timur, hingga perbatasan Belarusia dan Ukraina. Dalam perspektif geo-politik dan geo-strategis Rusia, Belarusia dan Ukraina adalah batas toleransi terhadap hegemoni ideologis dan militer Barat (Uni Eropa dan NATO) ke arah Timur. Manakala Ukraina kesengsem mau ikut NATO juga, sudah pasti itu akan menyenggol syarat sensitif Rusia. Dalam konteks inilah serangan militer Rusia ke Ukraina Februari 2022 lalu bisa dipahami.
Lantas bagaimana melihat kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Moskow dalam perspektif geo-politik Eropa? Sejatinya rekam jejak China mengubah geo-politik Eropa itu sudah tercatat sejak 2012. Ketika Perdana Menteri China Wen Jianbao berkunjung ke Polandia, 13-15 April 2012, kepada 16 negara calon anggota Uni Eropa – terutama negara bekas sosialis-komunis di Eropa Timur – dia menjanjikan dana pinjaman lunak besar-besaran dalam jangka panjang untuk pembangunan infrastruktur dan hi-tech. China juga menggelontorkan dana untuk membantu pengusaha Cina yang ingin berinvestasi dan meningkatkan perdagangan dengan negara-negara bekas sosialis-komunis itu. Semua manuver diplomasi ekonomi itu tentu dimainkan dengan harapan agar negara-negara Eropa bekas sosialis-komunis itu tidak sepenuhnya jatuh dalam orbit politik dan ideologi Uni Eropa yang liberal-kapitalis. Sebab, Uni Eropa sangat berkepentingan untuk merangkul negara bekas komunis agar mereka tidak terpengaruh kembali oleh mantan bos ideologinya dulu, Rusia (John Van Oudenaren, Uniting Europe, 2005). Pada titik inilah kepentingan Uni Eropa berkelindan dengan ambisi China untuk hadir di Eropa, khususnya Eropa Timur.
Perang Rusia-Ukraina membuka peluang bagi China utk memperluas ruang permainan geo-politiknya di Eropa. China tentu menyadari, sampai saat ini baik AS, NATO maupun Uni Eropa tidak secara total membantu Ukraina memenangi peperangan. Sejauh ini Barat hanya membantu dana dan pengadaan persenjataan. Tidak dalam bentuk bantuan personel militer yang bertempur di palagan Ukraina, seperti yang dilakukan di banyak negara di kawasan Timur Tengah. Justru dalam situasi seperti itu, China melihat celah untuk memainkan jurus diplomasi ekonomi dan geo-politiknya. Dengan rekam jejak diplomasi ekonominya yang sudah tertanam sejak 2012, China memiliki pengaruh yang kuat di negara anggota Uni Eropa (terutama bekas sosialis-komunis). Pengaruh politik ini dapat dimainkan China untuk mengademkan sikap mereka terkait konflik Rusia-Ukraina. Pendekatan seperti ini sangat mungkin efektif, karena justru negara-negara bekas sosialis-komunis inilah – yang kebetulan berbatasan langsung dengan Ukraina – yang akan mengalami kehancuran parah jika konflik itu bereskalasi menjadi perang berkepanjangan.
Kunjungan Jinping ke Moskow juga menyinggung kemungkinan penyelesaian damai konflik Rusia-Ukraina. China mengajukan proposal perdamaian berisi 12 poin langkah perdamaian, diantaranya menyerukan de-eskalasi dan gencatan senjata di Ukraina. Putin menyambut positif, meski proposal itu tidak memuat langkah-langkah rinci yang konkrit menuju damai. Ditegaskannya bahwa proposal damai usulan China itu sejalan dengan pendekatan Rusia. Bahkan, proposal itu bisa dijadikan dasar bagi penyelesaian konflik secara damai jika Ukraina dan pihak Barat siap memulai pembicaraan untuk perdamaian. Ini indikasi positif. Presiden Ukraina Zelensky juga menyambut baik inisiatif diplomatik China untuk menjadi meditor dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Meski ditekankan juga bahwa untuk memulai pembicaraan perdamaian Rusia harus menarik pasukannya dari teritorial Ukraina yang didudukinya.
Dalam fatsun diplomasi, niat baik dan sambutan positif terhadap suatu inisiatif perdamaian adalah indikasi dari kedua pihak yang bertikai bahwa mereka mau memulai komunikasi. Komunikasi adalah pintu untuk untuk dialog. Tatkala dialog terjadi, maka disanalah dunia akan melihat setitik asa damai mulai berpendar dalam alur penyelesaian konflik Rusia-Ukriana.
*Penulis adalah Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran.
Komentar