GSBI Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Ini Alasannya

Nasional47,745 views

Berkeadilan.com – Sejumlah serikat buruh di Indonesia menyatakan penolakannya terhadap upaya pemerintah dalam omnibus law dengan mengajukan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.

Salah satu elemen buruh yang menolaknya adalah Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).

Menurut mereka, Omnibus Law adalah produk Undang-undang sapujagat menjadi super prioritas presiden Jokowi namun sama sekali tidak dibutuhkan oleh buruh dan rakyat Indonesia. Hal ini lantaran dinilai lebih banyak merugikannya dari pada menguntungkannya.

Omnibus Law Cipta Kerja bukanlah kebijakan atau aturan yang berdiri sendiri atau sebuah inisiatif terbaru yang digagas oleh Jokowi untuk mengatasi hiper dan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang ada. Tetapi, merupakan produk hukum yang lahir dari Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid 1 – 16 yang keseluruhanya bicara tentang iklim investasi. Dan ini butuh ”legitimasi hukum” agar bisa dieksekusi sesuai dengan skema ekonomi politik ala Jokowi untuk memuluskan jalan bagi investasi asing masuk ke Indonesia dan dalam rangka mewujudkan pengabdiannya kepada kapitalis monopolis asing (imperialisme) sebagai tuannya.

“Omnisbus Law, tidak menyingung tentang kesejahteraan buruh dan rakyat, tidak memberikan jaminan atas kepastian kerja, karena sistem alih daya dan sistem kerja kontrak masih diatur bahkan diperluas cakupannya,” kata Ketua Umum GSBI, Rudi HB Daman, Kamis (20/2/2020).

Selain berpotensi merampas hak atas pekerjaan, beberapa aspek lain juga rentan dan berpotensi merugikan seperti sistem pengupahan, jam kerja, hak buruh perempuan, PHK, dll.

Ini adalah beberapa dasar kenapa GSBI menolak Omnibus Law rancangan UU Cipta Kerja :

1. Yang menjadi titik utama tujuan dibuatnya UU Omnibus Law ini adalah untuk meningkatkan dan memastikan masuknya investasi di Indonesia bebas hambatan, untuk menciptakan ekosistem investasi yang berkelanjutan dengan penyederhanaan perizinan bagi masuknya investasi asing di Indonesia demi pertumbuhan ekonomi dan baru untuk kesejahteraan rakyat. Artinya omnibus Law diabdikan untuk kepentingan investasi bukan untuk buruh atau rakyat dan bukan untuk menciptakan kedaulatan, tapi untuk menyerahkan SDA kepada kapitalis monopoli asing dan menjadikan negeri Indonesia terus menjadi negeri terbelakang dan bergantung pada investasi dan hutang serta menjadi pasar bagi prodak-prodak imperialisme.

2. Proses pembuatannya sangat tertutup, tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik (masyarakat) secara luas. Hal tersebut melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan. Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 12 tahun 2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan. Padahal, partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011.

3. Proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh pemerintah pusat hanya melibatkan segelintir elite dan tertutup, seperti kepala daerah dan asosiasi pengusaha. Lihat saja Tim (satgas) perumus omnibus law yang di bentuk Menteri Kordinator Perekonomian yang diisi dan didominasi unsur asosiasi pengusaha dari berbagai sektor industri. Sementara perwakilan serikat buruh hanya dilibatkan dalam forum-forum sosialisasi dan konsultasi yang dilakukan oleh Tim Satgas perumus draft omnibus law atau Kemenko Perekonomian, Kepolisian (Polri) dan Kemnaker RI.

Mengingat RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan.

4. Pemerintah dari awal sudah maen klaim dan mengadu domba buruh, serikat buruh –serikat buruh dan organisasi-organisasi rakyat tentang Omnibus Law. Seperti yang di sampaikan dan dilakukan Menko Perekonomian-Airlangga Hartanto. Pertama; dalam Konferensi Pers pada 16 Januari 2020, Menko Perekonomian menyatakan “bahwa melalui dialog-dialog yang dilakukan pemerintah dengan pimpinan konfederasi SP/SB maupun federasi, pemeritnah telah mendapatkan persetujuan dari pimpinan SP/SB terhadap isi aturan omnibus law”. Kedua; memasukan secara sepihak beberapa nama Konfederasi dan Federasi SP/SB sebagai anggota (unsur dari SP/SB) dalam Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Subtansi Ketenagakerjaan Rancangan UU tentang Cipta Kerja, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No.121 Tahun 2020 tertanggal 7 Februari 2020.

Dan hal ini menuai protes dari pimpinan-pimpinan serikat buruh yang membantah telah menyetujui isi aturan draft omnibus law terkait ketenagakerjaan sebagaimana disampaikan Menko Perekonomian, termasuk melakukan klarifikasi dan menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan “pencatutan” nama serikat buruh mereka sebagaimana isi dalam Kepmenko Perekonomian Nomor 121 tahun 2020 tanpa ada komunikasi dan persetujuan terlebih dahulu, dan mereka tetap sikapnya menolak Omnibus Law. Sehingga aksi-aksi protespun terus dilakukan oleh gerakan serikat buruh, sebagai sikap penolakan terhadap omnibus law rancangan UU Cipta Kerja.

Hal ini persis seperti yang dilakukan rezim Megawati waktu itu dalam sejarah lahirnya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Pemerintahan Megawati menggunakan politik pecah belah dalam gerakan buruh dengan membentuk tim kecil yang terdiri 17 orang perwakilan SP/SB untuk membahas darf RUU Ketenagakerjaan secara tertutup sampai pada proses pengesahannya di DPR-RI.

5. Omnibus Law Cipta Kerja adalah Tiga Langkah Mundur Reformasi Regulasi. Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan perundang-undangan, yaitu asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”. RUU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan karena dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya. Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar yang sudah diatur dalam UU No. 12/2011. Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka waktu satu bulan. Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu satu bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis. Selain itu, target pengerjaan RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan menambah kompleksitas permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku kepentingan untuk bisa dengan cepat menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi kita. Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami hiper-regulasi. Alih-alih menggunakan pendekatan omnibus ini sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi serta melanggar ketentuan UU 12/2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi. Pertama, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang. Kedua, pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

6. Isi (substasi) pasal-perpasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja terutama dalam klaster Ketenagakerjaan nyata mengurangi, menghilangkan hak dan kesejahteraan yang selama ini didapat buruh, menghilangkan aspek perlindungan bahkan menghilangkan aspek pidana bagi pengusaha. Padahal hukum Ketenagakerjaan sekurangnya harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security), dan kepastian jaminan sosial (social security). Namun, di dalam RUU Cipta Kerja sama sekali tidak tercermin adanya kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial tersebut. Tidak adanya kepastian kerja tercermin dari outsourcing dan sistem kerja kontrak seumur hidup tanpa batas, PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan Tenaga Kerja Asing (TKA) dipermudah dengan buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Tidak adanya kepastian pendapatan terlihat dari hilangnya upah minimum, tidak ada lagi sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, dan hilangnya pesangon. Sementara itu, outsourcing dan sistem kerja kontrak jangka pendek dibebaskan, maka buruh dipastikan tidak lagi mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya.

7. Disisi lain, DPR tidak menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasan. Adanya gelombang penolakan publik tidak membuat DPR kritis terhadap pemerintah. Sebaliknya, sejumlah Anggota DPR justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkesan memberikan karpet merah kepada pemerintah bahwa mereka akan segera mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU. []

Komentar