PKS Merajuk, Oposisi Terancam Blunder

Jelang pendaftaran bakal calon pasangan capres dan cawapres yang akan dimulai tanggal 4-10 Agustus ini, suasana politik semakin memanas. Pertarungan Capres diprediksiakan head to head petahana vs oposisi. Joko Widodo akan berhadap-hadapan dengan Prabowo Subianto.

Prabowo yang sebelumnya dikabarkan enggan untuk bertarung lagi di Pilpres 2019, ternyata menerima permintaan kadernya. Alasan yang logis untuk penyelamatan partai. Saat ini Prabowo masih diunggulkan sebagai figur yang mampu melawan petahana.

Elektabilitasnya masih mengekor petahana dan belum ada tokoh yang mendekatinya. PKS sebagai pasangan oposisi pun tahu diri dan hanya mengajukan Sembilan kader yang layak jadi Cawapres.  Namun, kader-kader PKS tersebut selama tiga bulan terakhir belum juga mengkerucut. Bahkan, Prabowo secara cerdas belum pernah memberikan clue siapa yang bakal jadi pendampingnya.

Usulan bakal cawapres Prabowo mulai mengerucut saat dia menghadiri Ijtima Ulama GNPF yang merupakan representasi Gerakan 212 pada 27-29 Juli 2018. Ijtima merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan alternatif cawapres Salim Segaf Al Jufri (ketua Dewan Syuro PKS) atau Abdul Somad (ulama).

PKS pun memberi tenggat tanggal 30 Juli (walau akhirnya hingga saat ini tenggat tersebut tidak jelas) agar Prabowo mesti sudah mengumumkan siapa pendampingnya, tentunya dengan menekankan rekomendasi Ijtima Ulama tersebut.

Sayangnya, Prabowo dalam waktu itu justru terlihat makin mesra dengan sejawatnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua umum Partai Demokrat.

Prabowo dan SBY sejatinya rekan lama, meskipun di AKABRI mereka beda angkatan. Mereka masuknya bersamaan di tahun 1970. Kemudian mereka masuk dalam ring 1 Istana dengan jalan masing-masing. Tetapi, pada prinsipnya mereka saling respek sebagai sesama militer.

Hal lain yang menarik bagi Prabowo tentunya adalah pengalaman SBY di Pilpres 2004 yang berhasil mengalahkan Megawati sebagai petahana. Pengalaman ini tentunya akan sangat berguna mengingat dia akan menghadapi petahana. Selain itu, SBY juga berpengalaman dua periode sebagai presiden.

Tampaknya, postur politik SBY demikian menggoda Prabowo sehingga mengabaikan sejenak pasangan oposisinya. Bisa jadi, Prabowo berpikir sebagai sahabat, PKS akan memahami langkah politiknya tanpa ikutan nyinyir.

Menjelang deadline PKS 30 Juli, di media justru semakin santer Prabowo akan menggaet Agus Harimurti Yudhoyono sebagai wakilnya. AHY yang masih hijau di politik diproyeksikan ayahnya untuk tampil di kelas nasional setelah sebelumnya gagal di pertarungan Pilkada DKI.

Hasilnya tenggat terlampaui, ini membuat elit PKS ngambek. Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyudin kepada media menyatakan partainya tengah mengambil opsi untuk abstain dalam Pilpres.

Jika sikap ini jadi diambil, berarti perahu oposisi terancam retak. Posisi ini hanya akan merugikan posisi PKS dan Gerindra. Sebab positioning selama ini membuat Prabowo masuk dalam ceruk konstituen PKS. Sebaliknya, PKS sendiri belum mempersiapkan tokoh untuk dijadikan figur capres.

Langkah blunder di saat terakhir sebenarnya hal lumrah di peta politik nasional. Perlu ketangguhan dan konsolidasi yang mantap untuk bisa merecover salah langkah di menit-menit terakhir. Apalagi tensi politik semakin memuncak. Jika Prabowo tidak bisa mengambil sikap bijaksana dan taktis di final momen ini, blunder ini bisa menjadi petaka bagi oposisi di 2019.

Dengan posisi head-to-head seperti sekarang ini, petahana sudah diuntungkan oleh publikasi dan progress pembangunan selama empat tahun ini. Diperkirakan petahana akan memperoleh keuntungan 30 persen suara dari publikasi dan kegiatan protokoler saja. Sekiranya seluruh tim sukses dan mesin politik dimatikan, sebagai Presiden, Jokowi sudah memiliki setidaknya 30 persen suara. (Penulis : Bandor D Malera; Analis Politik Network of Market Investor /NMI)

Komentar