Penulis : Prof Romli Atmasasmita
Berita terkini terkait aspirasi masyarakat khusus organisasi masyarakat mengenai peristiwa sosial adalah penanganan kasus Delpredo, pendiri ormas Lokataru afiliasi ormas internasional di Indonesia oleh aparat penegak hukum, kepolisian telah menimbulkan tanda tanya sejauh mana pelindungan secara hukum terhadap inisiator dan penggerak serta peserta aspirasi masyarakat sehingga terdapat jaminan pelindungan hukum negara terhadap mereka; pertanyaan muncul disebabkan belum ada ketentuan UU yang memberikan jaminan pelindungan hukum bagi penggerak/inisiator penyampaian aspirasi masyarakat sampai saat ini; yang kini berlaku dan selalu diterapkan adalah ketentuan pidana sebagaimana tercantum di dalam Pasal 160 yang berisi larangan dan ancaman sanksi pidana: Pasal 160: Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menurut baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ancaman pidana lebih dari 5(lima) tahun sesuai dengan ketentuan UU dapat dikenakan penahanan sementara sehingga dengan ketentuan pidana KUHP tersebut pelindungan hak asasi seseorang rentan terhadap kewenangan atau penyalahgunaan wewenang oleh Apgakum( Penyidik); sesuatu hal yang berpotensi pelanggaran hak asasi seseorang sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 45: setiap orang berhak atas pengakuan,jaminan serta perlakuan dan kepastian hukum yang adil serta persamaan perlakuan di muka hukum; kepastian hukum yang adil- bukan kepastian hukum dan keadilan melainkan kepastian hukum harus juga mencerminkan keadilan; dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam konteks penyampaian aspirasi masyarakat mengenai sesuatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah hukum dan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat, hukum harus menjamin penyampaian aspirasi berjalan tertib dan teratur sesuai dengan peraturan perUUan yang berlaku dan diikuti larangan serta ancaman sanksi atas pelanggaran yang terjadi. UU yang mengatur tata tertib beracara dalam penyampaian pendapat terdapat dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dengan tujuan agar penyampaian pendapat tidak merugikan kepentingan umum dan juga perorangan dan UU aquo bersifat mengatur (regulerende) tidak bersifat memaksa( dwingen recht) sehingga dalam penyampaian aspirasi di muka umum tidak bersifat memaksa disertai ancaman sanksi bagi pelakunya. Dengan demikian diharapkan kepatuhan peserta aspirasi pada ketentuan UU yang berlaku sehingga penyampaian aspirasi kepada subjek penyelenggara negara atau apgakum tidak bertentangan dengan etika kelembagaan dan menurunkan kewibawaan pejabat publik di hadapan masyarakatnya.
Ketidakpatuhan melaksanakan prosedur yang ditetapkan UU Nomor 9 tahun 1998 hanya dikenakan sanksi administrative antara lain berupa teguran terhadap pelakunya (sanksi administrative). Peristiwa sosial penyampaian aspirasi masyarakat yang terjadi pada bulan Agustus tahun 2025 telah menimbulkan keresahan masyarakat luas dan tindakan yang bersifat anarkhis dari peserta aksi/demonstrasi sehingga telah melampaui batas toleransi kesadaran dan akal sehat. Berita terkini, rumah mantan menkeu telah dijarah diambil/dirampok harta bendanya. Penyampaian aspirasi masyarakat berakhir dengan anarkhi dan kekacauan masyarakat.
Praktik hukum penanganan perkara ekses negatif penyampaian aspirasi masyarakat oleh kepolisian selalu bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) yang berlaku; lazimnya ketentuan Pasal 240 ayat (1) KUHP yang mengatur delik penghasutan, menyatakan: setiap orang (Pasal 240(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.(21 Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (l) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara. Pasal 241(1) Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan,atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Pasal 242, Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling Lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. (3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.(4) Aduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara tertulis oleh pimpinan pemerintah atau lembaga negara.
Berdasarkan ketentuan UU tersebut dapat disimpulkqn bahwa, tindak pidana yang berhubungan dengan kerusuhan masa bersifat anarkis merupakan tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman di bawah 5 (lima) tahun sehingga tidak diwajibkan dilakukan penahanan terhadap pelakunya. Ketentuan pidana di dalam KUHP (1946) dan KUHP(2023) tidak berarti Negara tidak peduli atas perlindungan hak asasi bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapat/aspirasi di hadapan masyarakat melainkan untuk tujuan menjaga/ memelihara agar pelaksanaan penyampaian aspirasi berjalan tertib dan teratur.








Komentar